Minggu, 17 Maret 2019

Kembangkan Kulit Buah Jadi Teknologi Nano Solar Cell, Brian Yuliarto Raih Guru Besar ITB



BANDUNG, KOMPAS.com - Institut Teknologi Bandung ( ITB) mengukuhkan Brian Yuliarto menjadi salah satu Guru Besar Teknik Fisika dengan usia cukup muda pada Sabtu (16/3/2019). Saat ini pria kelahiran Jakarta, 27 Juli 1975 masih berusia 43 tahun. 

Status Guru Besar diberikan oleh ITB lantaran Brian dianggap telah berhasil mengaplikasikan modifikasi atau rekayasa material berukuran nano menjadi sensor.

“Kita di ITB terutama kami di Teknik Fisika telah mengembangkan aplikasi untuk sensor polusi udara dan sensor kesehatan. Ini sangat penting. Hasil- hasilnya juga setara dengan penelitian- penelitian yang ada di luar negeri di kampus kampus terkenal," kata Brian saat ditemui di Aula Barat Kampud ITB, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Sabtu sore. 

Salah satu aplikasi rekayasa material nano yang dijadikan sensor dalam dunia kesehatan oleh Brian adalah sensor untuk mendeteksi penyakit sedari dini. 

“Kita juga mengembangkan sensor sensor untuk penyakit dini baik itu cancer, gula atau diabetes melitus dan lain lainnya,” ungkap Brian. Di bidang lingkungan, Brian juga menggunakan rekayasa material nano untuk membuat sensor pemantauan kualitas udara 
“Teknologi nano ternyata juga bisa diaplikasikan untuk sensor solar cell, untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik,” bebernya. Dalam penelitiannya, Brian mengatakan Indonesia sangat punya potensi untuk mengembangkan teknologi nano. Sebab, material untuk teknologi nano ternyata tersedia dari alam. 
“Kekayaan alam Indonesia itu sangat melimpah, beragam. Kita berharap kekayaan alam Indonesia ini menjadi kekuatan kita dalam bersaing dengan perkembangan teknologi dengan yang dilakukan di luar negeri. 

Nah, kita coba mengembangkan seperti sensor untuk deteksi kanker prostat, kita ambil dari pasir di Tulungagung. Kita ektrasi pasirnya, kita buat menjadi sensor. Ternyata hasilnya tidak kalah dengan hasil hasil yang ada di luar negeri,” jelas Brian. 

Tidak hanya dari material pasir, Brian mengatakan teknologi nano bahkan bisa dibuat dari buah-buahan. “Demikian juga untuk solar cell, kita memanfaatkan natural alam Indonesia seperti kulit kulit buah buahan yang berasal dari antosianin maupun klorofil. 

Nah itu kita jadikan dia sebagai bahan baku solar sel,” bebernya. Brian mengungkapkan, Indonesia mau tidak mau harus siap mengembangkan teknologi nano. Sebab, Indonesia sudah jauh tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pengembangan dan pemanfaatan teknologi nano. 

“Mau enggak mau kita harus siap. Karena ketergantungan kita terhadap barang barang luar negeri ini sangat besar. Karenanya saat ini, pemerintah maupun kampus harus terus menerus kerja sama sehingga (pengembangan teknologi nano) bisa dipercepat,” imbuhnya. 

Salah satu kesulitan penelitian dan pengembangan teknologi nano, kata Brian, adalah di masalah pembiayaan. 

“Memang kuncinya kita jauh tertinggal tentu dari sisi dana dan lainnya. Tetapi itu harus diatasi dengan membangun jejaring dari luar negeri. Membangun jejaring sesama peneliti peneliti di Indonesia, tak hanya di ITB. Kebersamaan inilah yang mungkin kita bisa jadikan kekuatan untuk bersaing melawan pengembangan teknologi di luar negeri yang jelas sangat maju,” ucapnya. 

Salah satu sektor yang paling memungkinkan di Indonesia untuk mengaplikasikan teknologi nano yang telah dikembangkannya adalah pada sektor kesehatan yang bahan bakunya bisa diambil dari kekayaan alam Indonesia. 

“Industri kesehatan kita masih tergantung pada impor. Tinggi sekali dan sangat mahal. Saya pikir kita akan fokus ke industri sensor kesehatan karena kebutuhan sangat tinggi. Harapannya kita menjadi mandiri untuk bisa mendeteksi awal penyakit, baik itu glukosa, ataupun penyakit cancer dan penyakit lainnya,” imbuhnya. 

Selain itu, pemanfaatan teknologi nano untuk mendeteksi gas berbahaya yang berhasil dikembangkannya bersama timnya di ITB juga sudah bisa memasuki tahap produksi apabila ada perusahaan teknologi dalam negeri yang tertarik mendanai. 

“Teknologi nano sensor deteksi gas berbahaya bisa mendeteksi kebocoran di industri. Keduanya sedang mencapai tahap protitipe, karena tentu kami di universitas wilayahnya hanya sampai prototipe. Harapannya nanti kita bekerjasama dengan industri membuat dengan skala yang lebih banyak. Tentunya industri dalam negeri,” tandasnya. 

Penulis : Kontributor Bandung, Putra Prima Perdana
Editor : Aprillia Ika

https://regional.kompas.com/read/2019/03/16/22362221/kembangkan-kulit-buah-jadi-teknologi-nano-solar-cell-brian-yuliarto-raih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar