Minggu, 17 November 2019

Semua Orang Bisa Menulis




Dalam perjalanan Jakarta-Bogor, tadi sore, saya menerima sms dari seorang kawan di negeri Jiran, “...bukunya sudah saya terima. Jadi ngiri, kapan saya bisa bikin buku.”

Kawan itu, ketika mendengar saya menulis buku, ingin sekali mendapatkannya. Tapi, bagaimana cara memiliki itu buku, karena ia, saat itu, tinggal di Kuwait. 

Setelah agak lama kami tidak berkomunikasi, minggu lalu saya kirim pos-el minta alamat beliau di Kuwait. “Saya sekarang tinggal di Malaysia,” jawabnya. Saya pun meminta alamat lengkapnya. Hari Sabtu lalu, sekalian ke Jakarta, saya datang ke kantor TIKI di Jalan Buncit. 
“Kapan dikirim dan kapan nyampai ke alamat tujuan?” tanya saya kepada petugas TIKI. “Paket akan dikirimkan hari Senin dan akan sampai di alamat empat hari kemudian, Pak. Tapi, tergantung pada pemeriksaan di bea cukai sana. 
Kadang lama di situ,” jelas petugas TIKI. Saya pikir, anggaplah 10 hari atau 2 minggu sudah sampai ke alamat. Tak masalah. Rupanya, itu buku datang lebih cepat dari yang saya duga. 
Dikirim Senin, 19 Maret 2012; Rabu, 2 hari kemudian, sudah mendarat di tujuan. Alhamdulillah.

Apa yang menarik atau tidak menarik dari pesan yg kawan itu kirim? Saya tulis lagi potongan pesan singkatnya:
“...bukunya sudah saya terima. Jadi ngiri, kapan saya bisa bikin buku.”
Saya langsung balas sms tersebut dengan, biasa... sms yang lebih panjang. 
“Semua orang bisa menulis. Semua orang bisa membuat buku. Bukankah sejak kuliah kita biasa membuat makalah, yang dilanjutkan dengan skripsi? 
Setelah bekerja pun, kita rutin membuat laporan pekerjaan. Menulis adalah seperti ketika kita diwawancarai, dan si pewawancara bertanya kepada kita, “Tell me something about you!” 

Kita akan nyeroscos bercerita tentang diri kita, sejak lahir, sekolah, mengikuti macam-macam pelatihan. Kita terus bicara, hingga pewawancara bilang, “Cukup!” 

Apalagi bagi orang yang lama tinggal di luar negeri. Pasti banyak hal bisa dikisahkan. Banyak peristiwa dapat kita rekam. Banyak cerita yang bisa kita kabarkan. Begitulah. Tinggal menuliskannya saja. Semoga.”

Mundur ke sekitar 30 tahun lalu, ketika saya masih di bangku SMA. Seorang kawan dekat hendak memulai kuliah di Yogyakarta. “Kirim-kirim surat, ya!” pintanya. Saya mau kirim surat padanya. Tapi...bingung, apa yang harus saya tulis. 

Agar kertas surat tak terlalu kentara kosongnya, lantaran tak tahu harus dibagaimanakan kertas dan pena itu, saya memutuskan untuk menulis di kartu pos saja. Kartu itu, kan, ruang untuk menulisnya sempit sekali. 

Paslah dengan kondisi saya yang tidak bisa menulis. Setelah lama pena saya pegang dan kartu pos berada di hadapan, di atas meja, akhirnya saya menulis begini, “Apa kabar di sana? Kami di Bandung baik-baik saja.” Selesai. Singkat cerita, saat libur semesteran, ia pulang ke Bandung. Kata pertama yang ia keluarkan saat berjumpa, “Kok, kamu nulis surat hanya gitu?” Ia pun, di lain kesempatan, mengajari saya bagaimana menulis. Surat bahasa Inggris, malah!

Saya mulai belajar menulis surat. Surat-surat saya tujukan, sebagian besar, ke Keduatan-kedutaan besar di Jakarta, minta brosur tentang negaranya. Berdatanganlah surat-surat balasan dari banyak kedubes ke rumah. 

Bapak saya, yang Sekolah Dasar saja tak tamat, memperkenalkan saya ke siaran radio gelombang pendek. Itu beliau lakukan ketika saya masih belajar di Sekolah Dasar. Kami mendengarkan siaran radio yang dipancarkan dari negeri di seberang lautan itu melalui radio zaman dahulu kala, Radio Tabung. 

Tidak seperti radio transistor, radio ini, begitu kita nyalakan, tidak langsung bersuara. Harus menunggu beberapa menit. Perlu panas dulu. Kalau sudah rada-rada hangat, barulah ia mengeluarkan suara. 

Kami terbiasa mendengar siaran-siaran Radio Australia, Suara Amerika, Radio Nederland, BBC, NHK, sampai ke Radio-radio Rusia, Albania, dan banyak lagi. 

Melayanglah surat-surat saya ke negeri-negeri itu, minta Pedoman Acara, buku-buku pelajaran bahasa asing, dan foto para penyiar. 

Senang sekali ketika menerima balasan dari radio-radio itu. Pak Pos, waktu itu, belum naik motor. Mereka naik sepeda ontel. Rasa gembira, selalu muncul, ketika sepeda pos itu berhenti di halaman rumah. 

Di luar itu, saya pun berlangganan beberapa majalah gratis dari beberapa penerbit di negeri jauh. Kamar saya yang tak luas itu, dipenuhi brosur-brosur dari banyak negara. Beberapa tahun kemudian, ketika saya kuliah, seorang kawan yang punya hobi filateli, berpesta memanen perangko-perangko dari surat-surat itu. 

Saya senangnya nulis saja, ngoleksi perangkonya, biar orang lain saja.

Semakin sering menulis, semakin banyak saja yang bisa diceritakan. Tibalah waktu melakukan tugas akhir: melakukan pemetaan geologi di Blora, Jawa Tengah. 

Saya dan seorang teman yang daerah pemetaannya bersebelahan, tinggal di rumah Pak Camat. Pak Supriyanto dan Keluarga adalah penganut agama Nasrani yang taat. 

Mereka rajin melakukan kebaktian. Beliau beserta keluarganya sangat dekat dan dihormati, tidak hanya oleh karyawan kecamatan, melainkan juga oleh masyarakat sekitar rumahnya. 

Sebagai mahasiswa yang belum berpenghasilan dan biasa hidup minimalis, tinggal di rumah Pak Camat, saya merasa bagaikan tinggal di penginapan dengan fasilitas utama. Bu Camat senantiasa memberikan sajian makanan yg lezat. 



Keluarga itu sangat baik kepada kami. Tiap hari kami dijamu. Pada hari terakhir kami tinggal di rumah keluarga saleh itu, kami bermaksud menyerahkan (sangat) sedikit uang sebagai tanda terima kasih kami kepada keluarga yang telah menerima kami tinggal di rumah yang nyaman itu.
“Uangnya kami terima. Tapi, adik-adik, kan, masih perlu biaya untuk keperluan sekolah. Kami kasihkan lagi untuk adik-adik, ya!” Bu Camat dengan ramah mengembalikan itu uang. Semoga Tuhan membalas kebaikan keluarga itu dengan yang lebih banyak dan berkah.
Saya kembali ke kampus. Sekitar satu tahun kemudian, Yono, putra Pak Camat, berkunjung ke pamannya di Bandung. Ia tak bertemu saya, entah lagi ke mana saya waktu itu. Tapi berhasil bertemu dengan Menot, kawan yang sama-sama tinggal di rumah Pak Camat. 
“Kemarin Yono bilang, ‘Om Jonih menulis surat kepada Bapak dan Ibu, panjang sekali. Lima halaman folio!”’
Brian dan Lorena, suami istri, pasangan muda asal California, bertemu di dekat kampus, di Dago, Bandung. Ketika ia menginap di sebuah hotel di dekat kediaman Gubernur Jabar, di Kebun Kawung, tiap pulang kuliah saya menemuinya. 

Mereka kemudian tinggal di keluarga Pak Sutisna, orang Sukabumi, orang tua dari sohib saya, Rudy, di daerah Cikutra. Setelah 3-4 bulan, Brian dan Lorena bilang bahwa mereka ingin tinggal di kampung, agar dekat dengan masyarakat. 

Mereka kemudian pindah ke Jalan Caringin, Kopo. Pasangan muda itu menjadi sahabat dekat saya. Hari-hari pertama bertemu, bahasa Indonesia yang mereka tahu hanyalah kata-kata: atas-bawah, kiri-kanan, maaf, terima kasih, dan kata-kata singkat lainnya. Saya mengajari mereka bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, setiap hari. 

Suami-istri ini mengajari saya bahasa Inggris. Ia tinggal 6 bulan di Bandung. Tiga bulan pertama, keduanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. 

Tiga bulan berikutnya, Brian mulai bisa berbahasa Sunda, Lorena tidak. Bahasa Inggris saya yang nekat-nekat dan agak kacau ini, ya, banyak dari merakalah. Kalau tidak ketemu mereka, lebih payah lagi. 

Setelah mereka pulang ke negerinya, kami sering saling berkirim surat. Lucunya, mereka merasa saya sebagai teman masing-masing, bukan teman sebuah pasangan suami istri. Jadi, kalau berkirim surat, Brian dan Lorena menulis cerita masing-masing di kertas berbeda. 

Amplopnya saja yg satu. Saya pun membalasnya satu per satu. Lumayan, anggaplah sedang belajar menulis dalam bahasa Inggris. Hampir di tiap surat balasan dari mereka, selalu diawali dengan, “Thank you very much for your very long letter...!”

Apa maksudnya nulis ngalor-ngidul ini? Boleh perhatikan, pada awal cerita saya menulis di kartu pos, karena kesulitan harus menulis apa dan apa yang harus ditulis! Lalu, bandingkan dengan ... ”Lima halaman folio” dan “the very long letters”, karena keranjingan menulis. Maksud saya, pada dasarnya semua orang bisa menulis. Tinggal memulainya saja, lalu berlatih, berlatih, dan berlatih. Pada akhirnya... akan mengalirlah tulisan itu.

Selanjutnya, agar tulisan agak berisi, tentu kita perlu lebih banyak lagi membaca dan membaca. Sejak belajar di Sekolah Dasar dan di Sekolah Menengah Pertama, saya senang menikmati majalah-majalah bekas di Alun Alun Bandung; di trotoar kantor PLN, di Jalan Cikapundung; atau... meminjamnya dari teman. 

Bulan puasa, sering juga ngabuburit ke tempat-tempat ini. Yang paling seru, waktu itu, adalah nongkrong di sudut timurlaut Alun Alun, di mana terdapat kantor penerangan untuk turis. 

Apanya yang seru? Liatin para guide berbicara bahasa Inggris dengan para wisatawan luar negeri. “Ingin rasanya, kelak, bisa bahasa asing itu!”

Ketika di Sekolah Menengah Atas, akses ke bahan bacaan lebih terbuka. Saya sekolah di di SMAN 7 (dulu mah, sekolah paling brutal di Bandung), Jln. Lenglong Kecil, bersebelahan dengan markas AKTUIL, majalah musik paling ternama, waktu itu. Hampir tiap hari, sepulang sekolah, setelah baca koran Pikiran Rakyat gratis pada majalah dinding, di halaman kantor koran Bandung itu, depan Hotel Homann, saya mampir dan berlama-lama di Perpustakaan Pemda Jabar, belakang Gedung Merdeka. 

Saya asyik dan terlena dengan buku-buku dan majalah bagus-bagus di gudang buku itu. Bacaan-bacaan itu, kelak, memperkaya bahan untuk banyak tulisan. 

Di antara bahan bacaan yang paling sering saya baca adalah INTISARI, PRIMA (sudah tak hidup lagi, menyusul gugurnya Window on The World di Jln. Gereja 3, yang sekarang sudah jadi kantor BNI), PRISMA (ini mah rada berat), ANDA (majalah psikologi populer), AKTUIL, MANGLE (biasa dibaca atau dipelesetkan kawan-kawan sebagai “menjel”, majalah basa Sunda) dan, tentu saja, TEMPO. 

Akan halnya TEMPO, menurut Almarhum Mahbub Junaidi, dalam Asal Usul (sekarang sudah raib pula kolom bagus ini) di KOMPAS, “Para wartawan TEMPO itu adalah para sastrawan yang berganti kelamin menjadi wartawan!” Itulah mungkin, yang membuat TEMPO enak dibaca, dan perlu! Tapi, saya tak dibayar TEMPO, lho!

Pak Hernowo, orang Mizan, dalam buku Mengikat Makna, berpesan, “Ikatlah apa yang kita baca dengan menuliskannya.”

Pepatah lama, pepatah Latin, mengatakan, “VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT”. Spoken words fly away, written words remain. Yang terucap akan berlalu bersama angin; yg tertulis akan tetap abadi.

Larry King bilang, “Semua orang bisa bicara.” 

Saya kira, “Semua orang bisa menulis!”

Ciomas, 21 Maret 2012, menjelang tengah malam.
Salam,
jonih




Tidak ada komentar:

Posting Komentar